TENTANG BATIK
satu lagi yang baru di situs ini. karena saya orang jawa, saya suka dengan lagu jawa. bagi temen temen yang pingin dengerin lagu jawa bisa download di sini. OKE
Ambil dah
suwe ora jamu
bir temu lawak
gundul-gundul pacul
gundul-gundul pacul2
walang kekek
Perkembangan batik pada masa sekarang cukup menggembirakan, hal ini berdampak positif bagi produsen batik-batik di berbagai daerah. Permintaan batik tulis maupun batik cap sangat tinggi sekali, walaupun kebutuhan pasar batik tersebut sebagian sudah dipenuhi dengan tekstil bermotif batik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan tekstil yang bermodal besar. Beberapa pengrajin batik menghendaki untuk pembayaran di muka agar produksinya bisa lancar dan pembeli akan segera menerima pesanan yang diminta, hal ini mengingatkan pada masa tahun 70-an dimana pada waktu itu batik juga mengalami permintaan yang cukup lumayan jumlahnya.
Perbedaan batik tulis dan batik cap bisa dilihat dari beberapa hal sbb:
Batik Tulis
1. Dikerjakan dengan menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan kain.
2. Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil dibandingkan dengan batik cap.
3. Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolak-balik) khusus bagi batik tulis yang halus.
4. Warna dasar kain biasanya lebih muda dibandingkan dengan warna pada goresan motif (batik tulis putihan/tembokan).
5. Setiap potongan gambar (ragam hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya. Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang satu dengan gambar lainnya.
6. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap. Pengerjaan batik tulis yang halus bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan lamanya.
7. Alat kerja berupa canting harganya relatif lebih murah berkisar Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-/pcs.
8. Harga jual batik tulis relatif lebih mahal, dikarenakan dari sisi kualitas biasanya lebih bagus, mewah dan unik.
Batik Cap
Batik Cap
1. Dikerjakan dengan menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan gambar atau motif yang dikehendaki). Untuk pembuatan satu gagang cap batik dengan dimensi panjang dan lebar : 20 cm X 20 cm dibutuhkan waktu rata-rata 2 minggu.
2. Bentuk gambar/desain pada batik cap selalu ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan dengan batik tulis.
3. Gambar batik cap biasanya tidak tembus pada kedua sisi kain.
4. Warna dasar kain biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Hal ini disebabkan batik cap tidak melakukan penutupan pada bagian dasar motif yang lebih rumit seperti halnya yang biasa dilakukan pada proses batik tulis. Korelasinya yaitu dengan mengejar harga jual yang lebih murah dan waktu produksi yang lebih cepat. Waktu yang dibutuhkan untuk sehelai kain batik cap berkisar 1 hingga 3 minggu.
5. Untuk membuat batik cap yang beragam motif, maka diperlukan banyak cap. Sementara harga cap batik relatif lebih mahal dari canting. Untuk harga cap batik pada kondisi sekarang dengan ukuran 20 cm X 20 cm berkisar Rp. 350.000,- hingga Rp. 700.000,-/motif. Sehingga dari sisi modal awal batik cap relatif lebih mahal.
6. Jangka waktu pemakaian cap batik dalam kondisi yang baik bisa mencapai 5 tahun hingga 10 tahun, dengan catatan tidak rusak. Pengulangan cap batik tembaga untuk pemakainnya hampir tidak terbatas.
7. Harga jual batik cap relatif lebih murah dibandingkan dengan batik tulis, dikarenakan biasanya jumlahnya banyak dan miliki kesamaan satu dan lainnya tidak unik, tidak istimewa dan kurang eksklusif.
Disamping adanya perbedaan dari sisi visual antara batik tulis dan batik cap, namun dari sisi produksi ada beberapa kesamaan yang harus dilalui dalam pengerjaan keduanya. Diantaranya adalah sbb:
* Keduanya sama-sama bisa dikatakan kain batik, dikarenakan dikerjakan dengan menggunakan bahan lilin sebagai media perintang warna.
* Dikerjakan hampir oleh tangan manusia untuk membuat gambar dan proses pengerjaan buka tutup warnanya.
* Bahan yang digunakannya juga sama berupa bahan dasar kain yang berwarna putih, dan tidak harus dibedakan jenis bahan dasar benangnya (katun atau sutra) atau bentuk tenunannya.
* Penggunaan bahan-bahan pewarna serta memproses warnanya sama, tidak ada perbedaan anatara batik tulis dan batik cap.
* Cara menentukan lay-out atau patron dan juga bentuk-bentuk motif boleh sama diantara keduanya. Sehingga ketika keduanya dijahit untuk dibuat busana tidak ada perbedaan bagi perancang busana atau penjahitnya. Yang membedakan hanya kualitas gambarnya saja.
* Cara merawat kain batik (menyimpan, menyuci dan menggunakannya) sama sekali tidak ada perbedaan.
* Untuk membuat keduanya diperlukan gambar awal atau sket dasar untuk memudahkan dan mengetahui bentuk motif yang akan terjadi.
Berikut ini contoh lain dari batik tulis dan cap:
Semoga bagi konsumen pecinta batik tidak akan merasa tertipu lagi dan bisa mengenal lebih jauh perbedaan antara batik tulis dan batik cap. Selamat berbelanja dan bravo batik Indonesia.
SUMBER : netsains.com
WAYANG KULIT
Wayang Ajen lebih dari sekedar Wayang
PERGELARAN wayang mempunyai segmen penonton yang khusus dan majemuk, lintas agama, lintas golongan, lintas strata sosial, bahkan lintas budaya. Sejak dulu, media wayang khususnya wayang golek dan wayang kulit tidak hanya menjadi sarana hiburan semata, tetapi juga dijadikan sarana dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
PERGELARAN Wayang Ajen judul "Dewa Ruci Meruat Jagat" dengan dalang Wawan Gunawan di Teater Terbuka Taman Budaya (Dago Tea House) Disbudpar Jabar, Sabtu (25/8). Pertunjukan ini merupakan kolaborasi wayang dengan perangkat multidimensi yang diminati penonton dari dalam dan luar negeri.* RETNO HY/"PR"
Di akhir Agustus dan memasuki bulan September lalu, dalang Wawan Gunawan, yang lebih dikenal dengan sapaan Wawan Ajen, menggelar pertunjukan wayang ajen di dua tempat. Tempat pertama, Balai Taman Budaya (Dago Tea House) di Jalan Bukit Dago Selatan, yang dijadikan tempat pergelarannya. Dengan mengangkat cerita "Dewa Ruci Meruat Jagat". Sementara di Radio Swara Jakarta, Kompleks Gedung AKA, Jln. Bangka Raya No. 2 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, mengangkat lakon "Sarwakarna", tafsir baru dari lakon wayang klasik "Karna Tanding".
Banyak hal yang menarik dari kedua pergelaran kreator pedalangan ini. Wayang ditampilkan secara apik dengan tata konsep garap pertunjukan wayang golek secara multiteatrikal. Meski pergelaran dikemas dalam durasi tidak lebih dari 60 menit, akan tetapi banyak menuntut kejelian sang kreator dalam menata dan membangun ruang media pentas yang dihadirkan.
Sangat jauh berbeda dengan pergelaran tiga tahun lalu di tempat yang sama (Dago Tea House), wayang ajen yang selama ini dikenal sebagai bentuk pertunjukan wayang kontemporer, dalam gaya penyajiannya sarat dengan idiom-idiom baru yang terasa aneh di wilayah otoritas wayang konvensional (tradisi). Wayang ajen dengan posisinya sebagai bentuk pertunjukan alternatif, tidak tanggung untuk menghadirkan kekuatan ekspresinya dengan menggunakan media lain di luar wayang. Antara lain gerak tarian manusia yang muncul dalam adegan tertentu sebagai background-nya.
Landasan rancang bangun konsep garapnya tidak hanya mengutamakan konsep secara pertunjukannya, tetapi konsep penentuan media yang dijadikan peragaan, dalam hal ini adalah wayang golek (boneka kayu). Wayang tokoh-tokoh tertentu, dirancang berdasarkan konsep anatomi-morfologi wayang yang dapat memperkuat karakteristik penokohan. Lebih tampak adu kuatnya antara gelap terang secara konsep nirmala yang terletak pada komposisi warna, garis, dan rias ukir makuta wayang. Perpaduan gelap terang pewarnaan nampak seimbang (balance) terlebih apabila didukung oleh tata pencahayaan (lighting) panggung yang memadai.
**
DALAM pagelaran wayang ajen "Dewa Ruci Meruwat Jagat", di Dago Tea Hose, Wawan selaku dalang, dibantu Arthur S. Nalan selaku sutradara, Suhendi Afriyanto (penata musik), Manggada dan Pandu Radea (penata artistik), Dodong Kodir (ilustrasi musik), Niko Panjalu (penata cahaya), Mahesa Jamjam (animator), serta Masyuning selaku panembang, mencoba menyampaikan pesan-pesan moral leluhur yang saat ini mulai diabaikan. Sosok Bima (Werkudara) salah seorang putra Pandawa yang dikenal jujur, gagah berani membela yang lemah, digambarkan secara lugas melalui wayang golek maupun siluet di bentangan kain layar.
Sementara di Radio Swara Jakarta, bersama Ki Bambang Asmoro, Wawan Ajen berkolaborasi dalam pergelaran yang menggabungkan idiom wayang kulit dan wayang golek. Keduanya tidak hanya sekadar pentas barsama antara dalang wayang kulit dan wayang golek, tetapi mengusung konsep dan visi yang sama dan menyatu dalam satu garapan lakon "Sarwa Karna atau Karna Tanding". Kedua dalang jebolan perguruan tinggi seni ini, sangat kompak dalam menyajikan sebuah garapan wayang baru, penggabungan dari wayang kulit dan golek dengan didukung beberapa unsur.
Ki Wawan Ajen mengedepankan wayang teknologi, pemanfaatan multimedia, laptop, infocus untuk membangun suasana pengadegan yang lebih mengesankan. Sebagai materi garapan kolaborasi juga dihadirkan beberapa seni lain seperti tari, bodoran (topeng Bekasi), bintang tamu Endra Utami, animasi, serta garapan gending diatonis yang ditumpangi dengan musik pentatonis.
Dalam dua pergelaran Wawan Ajen tersebut, konsep adu kuat dalam harmoni antara bentuk wayang golek yang surealis dan gerak tarian manusia yang realis-stylis, semata-mata hadir sebagai sebuah kebutuhan ekspresif di samping kebutuhan estetis. Dalam batas area kehausan kreativitas sebuah karya seni, tidaklah mengagetkan karena itu dipandang sebagai wilayah otoritas kreator dalam mengungkapkan pengalaman estetisnya.
Konsep wadasan yang merupakan salah satu keunikan dan kekuatan filosofis dari genre Mega Mendung Cirebon, sangat dominan dalam tata warna wayang golek ajen. Wadasan yang sering kita kenal dalam lukisan kaca gaya Cirebon, dijadikan sumber inspirasi oleh Wawan dalam merancang bentuk ukir dan pewarna makuta (mahkota) wayang.
Hubungan harmoni antara mega yang memiliki simbol sebagai pelindung yang di atas dan wadasan berupa cadas yang memiliki simbol titincakan (alas, dasar yang kuat). Oleh karena itu, konsep pemberangkatan wayang ajen dengan mengangkat genre wadasan-mega mendung dapatlah disimpulkan bahwa sebuah pemberangkatan hendaklah didasari oleh titincakan (dasar fondasi) yang kuat, di samping penyangga (penopang) juga yang kuat pula. Berangkat dari kekuatan bentuk dan makna filosofis itulah konsep anatomi-morfologi wayang ajen dapat dinikmati sebagai karya seni rupa (tidak sekadar alat peraga).
Memang, wayang ajen merupakan suatu bentuk seni pedalangan yang lahir dari kreativitas seorang Wawan Gunawan selaku akademisi lulusan Akademi Seni Tari Indonesia (kini STSI) Bandung dan ISI Yogyakarta. Sebuah karya yang lahir sesuai dengan daya imajinasi keintelektualannya, di mana dirinya berupaya melepaskan diri dari pakem wayang yang sudah ada dan hingga kini masih dilaksanakan oleh sejumlah dalang wayang golek maupun wayang kulit.
Wawan sendiri mengatakan, kalau wayang ajen merupakan refleksi dari perenungan dan proses kreatif dirinya dalam berkesenian. Apa yang diperolehnya dari renungan-renungan inilah yang mendorongnya membuat kreasi yang inovatif.
**
KONSEP wayang ajen sendiri diakuinya sebagai upaya membaca kembali tradisi dengan cara modern dan tafsir baru atas tradisi wayang golek, melalui pengembangan-pengembangan kreatif pada sajian pertunjukannya sebagai upaya agar wayang golek bisa diapresiasi oleh semua kalangan masyarakat tanpa terkecuali.
Keinginan tersebut kiranya sangat beralasan bilamana melihat latar belakang pria kelahiran Ciamis Jawa Barat, 11 Desember 1969 ini. Selepas pendidikan SD dan SMP di Panumbangan Ciamis, Wawan melanjutkan ke Sekolah Menengah Karawitan (SMKI) Bandung Jurusan Pedalangan dan lulus tahun 1989. Ia melanjutkan ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung Jurusan Karawitan lulus tahun 1992. Lalu menimba ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jurusan Seni Pedalangan dan lulus tahun 1995.
Selain itu, niatnya untuk mendalami seni pedalangan didapatnya melalui pendidikan nonformal, di antaranya menimba ilmu pada Ki Dalang Suwita di Ciamis, Ki Dalang Elan Surawisastra (Bandung), di Padepokan Giri Harja 5 pada Ki Dalang Iden Subasrana Sunarya, dan pada Ki Dalang R.H. Tjetjep Supriadi di Padepokan Panca Komara Karawang.
"Jadi sangat wajar kalau saya berkeinginan agar seni pedalangan atau seni pewayangan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat," ujar Wawan.
Wayang ajen mengolah tradisi wayang golek konvensional menjadi bentuk baru atau alternatif yang disebut wayang pengembangan. Wayang inovasi baru yang terdiri dari bahan kayu, kulit, dan fiber (kakufi) diramu dengan memasukkan unsur pembaharuan multimedia.
Kemunculannya menjadi fenomena menarik, sebagai dalang yang lahir dari kalangan akademisi, Wawan tampak berupaya melahirkan sesuatu yang baru sesuai dengan nalar intelektualnya. Misalnya mencoba melepaskan diri dari kebekuan pakem, yang selama ini menjadi kendala mengapa wayang golek sulit berkembang mengikuti dinamika apresiasi masyarakat penonton wayang golek sebagai habitat tempat hidupnya.
Diakui Wawan, kemampuan cabak, garap maupun antawacana, sebetulnya tidak terlalu menonjol bila dibandingkan dalang kesohor saat ini. Sejauh ini, dia belum mampu menyamai kepiawaian Ade Kosasih dalam hal suara (antawacana) saat membawakan tokoh wayang. Atau dalang Asep Sunandar yang dikenal dengan cabak-nya dan Dede K. Sutarya sebagai dalang garap.
Namun, berkaitan dengan variasi dialog (paguneman) serta variasi suara wayang (antawacana), perlu diakui Wawan memiliki keunggulan. Demikian pula dengan upayanya untuk membangun tata pentas atau pakeliran yang mengarah pada artistik teaterikal, menjadi kelebihan Wawan dalam mementaskan wayang ajen.
Ketua STSI Bandung, Arthur S. Nalan. S.Sen. M.Hum., yang juga bertindak sebagai sutradara/ literatur manajer pergelaran "Dewa Ruci Meruat Jagat", mengatakan, kehadiran Wawan sebagai dalang merupakan fenomena baru dalam dunia pedalangan. Keberaniannya melakukan eksperimen untuk melakukan kolaborasi berbagai bentuk seni tradisional ke pentas wayang golek yang pada habitatnya begitu sarat dan ketat oleh pakem dan pancacuriga pedalangan, merupakan hal yang sangat jarang. Bahkan baru Wawan yang melakukannya.
Selain peran multimedia sebagai pendukung visualisasi, artistik, serta musikalisasi, yang juga tidak kalah menarik dari wayang ajen adalah bahasa nyandra, kakawen maupun paguneman yang pada mulanya sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Kawi, diubah dengan sepenuhnya menggunakan bahasa Sunda yang sarat dengan nilai sastra.
Hal ini diserapnya dari Abah Sunarya, Elan Surawisastra (Mama Elan), dan Jamar Media, yang dalam paguneman sepenuhnya menggunakan bahasa Sunda yang murwakanti, serta sepenuhnya mentransfer filsafat Ki Sunda. Sedangkan dalam kakawen (pendahulu), Wawan masih mengunakan bahasa Kawi (Jawa Kuno). "Karena pada umumnya dalang sepuh pada masa lalu memang menggunakan bahasa Sunda lulugu dan diyakini sebagai bahasa indung orang Sunda," ujar Arthur.
Gaya pertunjukan wayang ajen yang merupakan tren baru dari bentuk pertunjukan wayang golek pada umumnya, kini mulai merambah kepada gaya pertunjukan wayang golek tradisi yag dipergelarkan oleh dalang-dalang lain, seperti bentuk bedripan (kilas balik) pada adegan awal, penambahan media bantu seperti kain layar sebagai background dan lainnya.
Dengan mencermati kondisi dunia kreativitas seni pedalangan saat ini, diharapkan semangat kreativitas seniman pedalangan tidak melempem terjebak dalam salah interpretasi tradisi.
"Selain itu, warna dan gaya pedalangan tidak hanya mengultus pada satu titik genre saja, tetapi banyak titik-titik lain yang lebih memungkinkan untuk digali dan ditemukan sebagai sesuatu yang baru dalam sebuah kreativitas berkesenian. Tentunya tanpa lali dateng purwa daksina adalah tradisi sebagai cadas (dasar) pemberangkatan," ujar Arthur S. Nalan. (Retno HY/"PR")***
Sumber: Pikiran Rakyat
Diposkan oleh HELLO WORLD di 4:39 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment