Berita Dalam Negeri

Aksi Mahasiswa Palembang Dukung Bibit-Chandra Mengalir
Rabu, 4 November 2009 06:31 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam |

Palembang (ANTARA News) - Aksi mahasiswa perguruan tinggi di Kota Palembang, Sumatra Selatan untuk mendukung Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto (Bibit-Chandra) dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditahan kepolisian agar dibebaskan, masih terus mengalir.

Hingga Selasa, aksi dukungan tersebut tidak hanya datang dari para mahasiswa, tetapi juga dari sejumlah dosen bahkan Rektor Universitas IBA Palembang, sebagai wujud keprihatinan kepada institusi penegak hukum yang dinilai keliru telah menahan Bibit-Chandra.

Yudhi Fakhrian, Rektor UIBA menilai, penyelenggara negara yang mengawal kekuasaan yudikatif tidak profesional dalam penegakan hukum, karena mereka lebih banyak "gontok-gontokan" dalam menunjukkan kekuasaan di bidang hukum.

Menurut dia, hal tersebut merupakan bahaya laten yang bisa merusak citra penegak hukum di negara ini, dan bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Ia menyatakan, penahanan terhadap Bibit-Chandra menunjukkan adanya konspirasi untuk menjatuhkan KPK yang justru diakui oleh masyarakat mampu mengungkap korupsi yang marak terjadi, dibandingkan dengan institusi penegak hukum lainnya.

Di sini juga menunjukkan tidak adanya transparansi dalam penegakan hukum yang berakibat tidak adanya kepastian hukum, kata dia pula.

Ia menyatakan, perlu gerakan masif dari berbagai kalangan masyarakat untuk melawan skenario melemahkan KPK yang hanya akan menguntungkan para koruptor.

Syaroji Karta, Ketua Lembaga Kantor Bantuan Hukum UIBA menilai, peran penyidik dalam perkara Bibit-Hamzahi juga dinilai kurang berimbang dan tidak memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kedua pimpinan KPK untuk mengemukakan kebenaran hukum.

Hal ini dibuktikan dengan perlakuan pihak kepolisian, pada saat jumpa pers yang digelar menyatakan Bibit-Chandra bahwa dianggap menggalang opini publik dan mempersulit proses penyidikan sehingga harus ditahan.

Aksi dukungan kepada Bibit-Chandra ini merupakan rangkaian dari aksi sebelumnya yang dilakukan oleh para mahasiswa perguruan tinggi di Palembang.

Mereka bahkan menyatakan bersediaturut menjamin pejabat KPK nonaktif agar dibebaskan dari penahanan yang dilakukan pihak kepolisian.

Pemutaran rekaman hasil penyadapan KPK terkait kasus adanya suap dalam perkara melibatkan Anggoro-Anggodo Wijaya juga menjadi perhatian warga Kota Palembang.

Sejumlah warga mendesak aparat hukum terutama kepolisian menindaklanjuti hasil rekaman itu, untuk membongkar pelaku dugaan skenario kriminalisasi pimpinan KPK, termasuk memproses hukum oknum penegak hukum yang terlibat di dalamnya.(*)

COPYRIGHT © 2009



Ditanya Anggodo, Polri Balik Bertanya, 'Dia Tersangka Kasus Apa?'

Anggodo Widjojo yang perannya banyak disebut dalam kisruh KPK vs Polri hingga kini tak pernah diobok-obok Polri. Malah Polri menahan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang kooperatif melakukan wajib lapor.

Mengapa Anggodo tidak segera diciduk? "Dia (Anggodo) tersangka dalam kasus apa itu?" tanya balik Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Dik Dik Mulyana.

Pernyataan itu disampaikan Dik Dik usai sertijab 8 Kapolda di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (30/10/2009).

Dik Dik menuturkan, penahanan adalah kewenangan atau dengan kata lain hak Mabes Polri.

"Pertimbangannya, sekarang kita ada yang dapat, itu kan belum tentu dilaksanakan. Apalagi yang belum tentu dapat ditahan," kata Dik Dik menjelaskan alasan tidak menahan Anggodo.

Ketika ditanya mengapa alasan subjektif --Bibit dan Chandra bisa menggelar jumpa pers sehingga dikhawatirkan mempengaruhi opini -- dikedepankan dalam penahanan Bibit dan Chandra, Dik Dik mengaku sudah sesuai prosedur.

"Kalau bicara pasal 21 ayat 1 syarat subjektif itu penafsirannya, namanya syarat subjektif semua penegak hukum antar penyidik dengan penyidik, antar penuntut dengan penuntut, boleh berbeda karena itu sangat ditentukan oleh ruang dan waktu," papar dia.

Sumber : yahoo


Kanker Ancam Negara Berkembang
Kompas
Kompas - Sabtu, Oktober 31

PONTIANAK, KOMPAS.com - Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Adiati Arifin M Siregar mengingatkan, ancaman kasus kanker di negara berkembang, termasuk Indonesia semakin meningkat.

"Badan Internasional Penelitian Kanker menyatakan sekitar 50 persen sampai 70 persen kasus kanker akan terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia," kata Adiati Arifin saat pelantikan pengurus Yayasan Kanker Indonesia Cabang Kalbar periode 2009-2014 di Pontianak.

Faktor pemicunya yakni perubahan piramida kependudukan dunia baik dalam jumlah maupun distribusi umur. Kemudian peralihan faktor risiko kanker dari negara maju ke negara berkembang.

Menurut dia, kondisi itu juga diperparah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kanker serta sarana untuk deteksi dini.

Yayasan Kanker Indonesia memusatkan penyuluhan untuk 10 jenis kanker yakni kanker leher rahim, payudara, hati, paru, kulit, nasofaring, kelenjar getah bening, usus besar dan penyakit trofoblas panas.

"Masalah rokok juga menjadi perhatian karena menjadi salah satu penyebab kanker," kata Adiati Arifin.

Yayasan Kanker Indonesia Pusat memberi santunan obat untuk kanker bagi penderita yang tidak mampu dengan anggaran Rp100 juta per bulan.

Sekretaris Daerah Pemprov Kalbar Syakirman mengatakan pertumbuhan penderita penyakit tidak menular, salah satunya kanker, menjadi tantangan besar bagi setiap daerah.

"Meningkatnya umur harapan hidup, dapat diatasinya beberapa penyakit menular, serta pola hidup menjadi pemicu angka kesakitan dan kematian penyakit tidak menular," kata Syakirman.

Pola hidup yang meningkatkan paparan faktor risiko, diantaranya merokok, kurang berolah raga, stres, memakan makanan yang tinggi lemah dan rendah serat, serta kondisi lingkungan yang makin buruk.

"Sekitar 70 persen kasus baru kanker sudah ditemukan dalam kondisi stadium lanjut," kata Syakirman.

Ia mengakui penanganan penyakit dan deteksi dini kanker belum sepenuhnya mendapat prioritas dalam berbagai kebijakan dan program kesehatan pemerintah.

0 komentar: